Thursday 8 January 2015

Mama (part 5)

August 1999 ( 13 tahun ) Kota Venice Itali, Pertemuan dengan Jacob

Aku kian menginjak remaja dan semakin banyak persoalan yang aku ajukan pada Mama. Mama kerja apa? Kenapa kita perlu lari dari polis? Kenapa kitaperlu bertukar-tukar nama? Acap kali perbualan kami terhenti dengan Mama menyepi tanpa memberiku sebarang jawapan. Saat ini memoriku terhadap Ayah dan Mak kian pudar aku seakan-akan telah terbiasa hidup bersama Mama. Aku tidak lagi bertanya kepada Mama bila aku boleh berjumpa dengan Ayah dan Mak.
Malam itu kami bertolak ke  Italy dengan menyelinap menaiki kapal kargo  setelah satu insiden kejar mengejar berlaku di lapangan terbang dan sewaktu aku nyaris ditangkap oleh seorang inspector , kata-kata inspector itu masih terngiang-ngiang di telingaku.
“Lisa nama kamu Lisa! Kamu ada keluarga yang menanti kamu! Kamu perlu pulang!” Inspektor itu  memegang bahuku kemas , matanya menjengil memandang tepat ke arah anak mataku. Segera aku tepis dan langsung melepaskan diri dari inspekor itu.
Malam itu aku tidak dapat tidur, aku terkenang ayah. Aku sudah hampir lupa wajah Ayah tapi aku masih ingat cebisan-cebisan memori tentang ayah. Aku ingat sewaktu hari jadi ku ayah memberikan aku sebuah patung teddy bear yang besar dan aku masih ingat kek coklat yang aku makan pada waktu itu dan aku teringat sesuatu yang amat mengusik perasaanku, aku pernah lihat ayah solat.
Waktu pagi di Italy sungguh mendamaikan, pekan kota klasik itu penuh dengan suasana yang mendamaikan, bandar yang dikenali sebagai bandar air itu penuh dengan panorama romantik. Bagaikan kembali ke kurun 18, aku terpana dengan keindahan Venice.
Tengah hari itu aku menikmati Tramezzini  hidangan yang disediakan seperti sandwich dan manisan Frittole. Aku sememangnya tidak pernah ada masalah dengan makanan , daripada makanan itali yang kebanyakannya berasas dari pasta, mahupun makanan jepun yang berasaskan nasi sehinggalah makanan timur tengah yang penuh dengan rempah, langusng tiada masalah. Mungkin atas dibesarkan dengan didikan Mama bahawa makanan hanya penting untuk kelangsungan hidup membuatkan aku berasa mudah untuk menyesuaikan diri baik dengan makanan atau budaya negara mana sekali pun.
Hari ini aku bersendirian mengelilingi kota Venice , seperti biasa Mama ada ‘kerja’ yang perlu dilakukan.  Hal ini bukanlah suatu yang aneh aku sudah terbiasa ditinggalkan sendirian dalam  satu-satu jangka masa tertentu, kebiasaanya Mama akan meninggalkan aku sejumlah wang tunai dan kad-kad kredit untuk aku menampung kehidupan harianku dan atas kesempatan ini biasanya aku mengambil kesempatan untuk meronda-ronda dan melihat .
Perlahan-lahan aku menutur langkah untuk menaiki gondola dan aku nyaris-nyaris hilangan imbangan  namun aku disambut oleh seseorang dan waktu itu mata kami bertautan.
“Stai bene?” aku boleh berbahasa dalam lima bahasa asing tapi sayang Itali bukan salah satu!

“I don’t speak Italian” ujarku. Kelihatan lelaki itu masih muda barangkali dalam lingkungan pertengahan 20-an

“Travelling alone? You look so young”

“No I’m with mom, she went window shopping for a while” Tips pertama, jangan sesekali nyatakan kita bersendirian dengan orang asing.

“I see, so how do you like Venice?”

“Great, feels like time travel here” saat itu pendayung Gondola kami mula menyanyikan sesuatu dalam bahasa itali sambil berselang seli dengan tiupan harmonica yang mengasyikkan.

“How long you’re going to stay?”

“Not sure, maybe just for some days, maybe weeks, couple of months?”

“There’s going to be a big Masquerade Ball at St’s Mark Square tonight, you’re coming?”

“Thanks for the info, I guess I will but not with a stranger” Dia comel tapi tetap orang asing!

“Haha I’m Jacob, Jacob Winchester”

“Your name doesn’t sound Italian at all”

“I’m not, who says I’m an Italian?” Jacob mengangkat kening.

“So what yours?”

“I came with a lot of names” Aku bukan tunjuk bagus atau belagak tetapi semamangnya aku ada banyak nama!

               “I like to call you pretty” Jacob tersenyum  menampakkan lesung pipitnya yang manis

“That’s a lame pick up line, like a crime against pick up line” ujarku sambil perlahan-perlahan aku  menutur langkah keluar dari Gondola meninggalkan Jacob di belakang.

“Heeyyyyy Prettyyy! I’ll wait for you at St Mark Square!” Jeritan Jacob membuatkan  pipiku merona merah.

Entah bagaimana aku boleh terbeli sepasang kostum evening dress dan topeng muka, oh nanti! Jangan-jangan aku ingin berjumpa Jacob lagi? Oh tidak..kenapa dengan aku? Itu bukan tindakan bijak , aku tak kenal Jacob. Dia orang asing! Orang asing!

Hatiku yang berusia 13 tahun sedang memberontak dalam diam, sejujurnya itulah kali pertama aku jatuh cinta dan siapa sangka cinta pertama ku mengundang kejutan yang langsung tidak ku duga.

Malam it St Mark Square meriah dengan lampu-lampu indah dan melodi klasik itali yang mengasyikkan. Kota Venice malam itu dihiasi dengan pengunjungnya yang hadir dalam pelbagai kostum yang memukau.

Mataku  melilau mencari kelibat Jacob, minda waras ku mengatakan ini kerja gila tetapi hatiku mengatakan  yang bertentangan. Dalam kekeliruan aku berjalan menyusupi pasangan-pasangan yang sedang asyik menari dan langkah ku terhenti saat mata menatapi sekujur tubuh yang segak dalm tuxedo.

“Hi Pretty, you look even more beautiful than your names”

“Seriously your pick up lines sucks”

Jacob menggaru-garu kepalanya yang tidak gatal kemudian dia menghulurkan tangan mempelawaku menari.

Malam itu bagaikan mimpi yang indah, kami menari, menikmati panorama indah waktu venice yang memukau namun 20 tahun kemudian aku merasakan itu antara perkara paling bodoh yang pernah aku lakukan hahaha. Aku merasakan diri bagai cinderella atau ibarat Sailormoon yang berjumpa dengan Tuxedo Mask.

   Malam kian menghampiri penghujung persis Cinderella aku perlu segera pulang sebelum detik pukul 10. Mama mungkin seorang yang beperwatakan bebas tetapi tetap menjaga sesetengah etika dalam membesarkanku.

“Leaving now pretty?”

“Yeah I have curfew, the perks of being a teenager to a single mom”

“What’s your name?”

“Start with an A”

“Ends with…?”

 “That’s a secret, I’ll tell you a letter a day”  Aku cuba bermain kata.  Aku sememangnya dasar anak  kecil hingusan yang langsung tidak mengerti apa itu cinta. Namun memori tentang Jacob masih jelas terbayang di hadapan mata.

Mujur saja Mama punya urusan kerja yang lama di Venice, hal ini membolehkan aku bertemu Jacob secara sembunyi sembunyi. Hari-hari seterusnya bagaikan drama sinetron dalam hidupku. Kami pergi berkelah, melawat tempat-tempat bersejarah, menikmati hidangan itali bersama-sama. Aku semakin menyangkakan bahawa aku mengenali Jacob. Kata Jacob ayahnya seorang jurugambar bebas dan dia mengikuti bapanya ke  Itali. Jacob berasal dari New Seattle , America.

Oh.. waktu itu aku tidak mahu meninggalkan Venice. Mama perasaan dengan keanehan sikapku dan akhirnya aku menceritakan tentang perihal Jacob.

“Lisa , he’s not the one for you and he’s dangerous he could have hurt you and you’re too young for anything like this”

“Mama, Jacob is a friend, he won’t hurt me”

“How sure are you, huh? How sure are you he’s not dangerous? What if he has another intention? How can you be so careless?!”

“Mama you’re being paranoid”

“I’m not being paranoid! I’m worried about you!”

“Mama, why can’t you trust anyone? What are actually we’re hiding from? I need a friend Mama, not the kind of friend I have to lie about my name, my age,about who you are. I need someone to know the real me!”

‘Are you insane Lisa?! You tell him about us?!”

“No! the only thing I told him is about my real name and that’s it!”

Mama meluru ke arah ku dengan mata yang menjengil, aku seakan kecut perut melihat riak muka Mama.
“What are you doing Lisa?! Tell me what’re you doing?!”                           
“A friend Mama, I want a friend!” Bentakku sekuat hati. Pranggg sebiji mug minuman berderai ke lantai. Retak seribu serpihanya. Aku bergegas berlari keluar dari bilik motel itu meninggalkan Mama yang menjerit-jerit memanggilku.



No comments:

Post a Comment