August 1999 ( 13 tahun ) Kota Venice
Itali, Pertemuan dengan Jacob
Aku
kian menginjak remaja dan semakin banyak persoalan yang aku ajukan pada Mama.
Mama kerja apa? Kenapa kita perlu lari dari polis? Kenapa kitaperlu
bertukar-tukar nama? Acap kali perbualan kami terhenti dengan Mama menyepi
tanpa memberiku sebarang jawapan. Saat ini memoriku terhadap Ayah dan Mak kian
pudar aku seakan-akan telah terbiasa hidup bersama Mama. Aku tidak lagi
bertanya kepada Mama bila aku boleh berjumpa dengan Ayah dan Mak.
Malam
itu kami bertolak ke Italy dengan
menyelinap menaiki kapal kargo setelah
satu insiden kejar mengejar berlaku di lapangan terbang dan sewaktu aku nyaris
ditangkap oleh seorang inspector , kata-kata inspector itu masih
terngiang-ngiang di telingaku.
“Lisa
nama kamu Lisa! Kamu ada keluarga yang menanti kamu! Kamu perlu pulang!”
Inspektor itu memegang bahuku kemas ,
matanya menjengil memandang tepat ke arah anak mataku. Segera aku tepis dan
langsung melepaskan diri dari inspekor itu.
Malam
itu aku tidak dapat tidur, aku terkenang ayah. Aku sudah hampir lupa wajah Ayah
tapi aku masih ingat cebisan-cebisan memori tentang ayah. Aku ingat sewaktu
hari jadi ku ayah memberikan aku sebuah patung teddy bear yang besar dan aku
masih ingat kek coklat yang aku makan pada waktu itu dan aku teringat sesuatu
yang amat mengusik perasaanku, aku pernah lihat ayah solat.
Waktu
pagi di Italy sungguh mendamaikan, pekan kota klasik itu penuh dengan suasana
yang mendamaikan, bandar yang dikenali sebagai bandar air itu penuh dengan
panorama romantik. Bagaikan kembali ke kurun 18, aku terpana dengan keindahan
Venice.
Tengah
hari itu aku menikmati Tramezzini
hidangan yang disediakan seperti sandwich dan manisan Frittole. Aku
sememangnya tidak pernah ada masalah dengan makanan , daripada makanan itali
yang kebanyakannya berasas dari pasta, mahupun makanan jepun yang berasaskan
nasi sehinggalah makanan timur tengah yang penuh dengan rempah, langusng tiada masalah.
Mungkin atas dibesarkan dengan didikan Mama bahawa makanan hanya penting untuk
kelangsungan hidup membuatkan aku berasa mudah untuk menyesuaikan diri baik
dengan makanan atau budaya negara mana sekali pun.
Hari
ini aku bersendirian mengelilingi kota Venice , seperti biasa Mama ada ‘kerja’
yang perlu dilakukan. Hal ini bukanlah
suatu yang aneh aku sudah terbiasa ditinggalkan sendirian dalam satu-satu jangka masa tertentu, kebiasaanya
Mama akan meninggalkan aku sejumlah wang tunai dan kad-kad kredit untuk aku
menampung kehidupan harianku dan atas kesempatan ini biasanya aku mengambil
kesempatan untuk meronda-ronda dan melihat .
Perlahan-lahan
aku menutur langkah untuk menaiki gondola dan aku nyaris-nyaris hilangan
imbangan namun aku disambut oleh seseorang
dan waktu itu mata kami bertautan.
“Stai bene?” aku boleh berbahasa
dalam lima bahasa asing tapi sayang Itali bukan salah satu!
“I don’t speak Italian” ujarku.
Kelihatan lelaki itu masih muda barangkali dalam lingkungan pertengahan 20-an
“Travelling alone? You look so
young”
“No I’m with mom, she went window
shopping for a while” Tips pertama, jangan sesekali nyatakan kita bersendirian
dengan orang asing.
“I see, so how do you like Venice?”
“Great, feels like time travel here”
saat itu pendayung Gondola kami mula menyanyikan sesuatu dalam bahasa itali
sambil berselang seli dengan tiupan harmonica yang mengasyikkan.
“How long you’re going to stay?”
“Not sure, maybe just for some days,
maybe weeks, couple of months?”
“There’s going to be a big
Masquerade Ball at St’s Mark Square tonight, you’re coming?”
“Thanks for the info, I guess I will
but not with a stranger” Dia comel tapi tetap orang asing!
“Haha I’m Jacob, Jacob Winchester”
“Your name doesn’t sound Italian at
all”
“I’m not, who says I’m an Italian?”
Jacob mengangkat kening.
“So what yours?”
“I came with a lot of names” Aku
bukan tunjuk bagus atau belagak tetapi semamangnya aku ada banyak nama!
“I
like to call you pretty” Jacob tersenyum menampakkan lesung pipitnya yang manis
“That’s a lame pick up line, like a
crime against pick up line” ujarku sambil perlahan-perlahan aku menutur langkah keluar dari Gondola
meninggalkan Jacob di belakang.
“Heeyyyyy Prettyyy! I’ll wait for
you at St Mark Square!” Jeritan Jacob membuatkan pipiku merona merah.
Entah bagaimana aku boleh terbeli sepasang
kostum evening dress dan topeng muka, oh nanti! Jangan-jangan aku ingin
berjumpa Jacob lagi? Oh tidak..kenapa dengan aku? Itu bukan tindakan bijak ,
aku tak kenal Jacob. Dia orang asing! Orang asing!
Hatiku yang berusia 13 tahun sedang
memberontak dalam diam, sejujurnya itulah kali pertama aku jatuh cinta dan
siapa sangka cinta pertama ku mengundang kejutan yang langsung tidak ku duga.
Malam it St Mark Square meriah
dengan lampu-lampu indah dan melodi klasik itali yang mengasyikkan. Kota Venice
malam itu dihiasi dengan pengunjungnya yang hadir dalam pelbagai kostum yang
memukau.
Mataku melilau mencari kelibat Jacob, minda waras ku
mengatakan ini kerja gila tetapi hatiku mengatakan yang bertentangan. Dalam kekeliruan aku
berjalan menyusupi pasangan-pasangan yang sedang asyik menari dan langkah ku
terhenti saat mata menatapi sekujur tubuh yang segak dalm tuxedo.
“Hi Pretty, you look even more
beautiful than your names”
“Seriously your pick up lines sucks”
Jacob menggaru-garu kepalanya yang
tidak gatal kemudian dia menghulurkan tangan mempelawaku menari.
Malam itu bagaikan mimpi yang indah,
kami menari, menikmati panorama indah waktu venice yang memukau namun 20 tahun
kemudian aku merasakan itu antara perkara paling bodoh yang pernah aku lakukan
hahaha. Aku merasakan diri bagai cinderella atau ibarat Sailormoon yang
berjumpa dengan Tuxedo Mask.
Malam
kian menghampiri penghujung persis Cinderella aku perlu segera pulang sebelum
detik pukul 10. Mama mungkin seorang yang beperwatakan bebas tetapi tetap
menjaga sesetengah etika dalam membesarkanku.
“Leaving now pretty?”
“Yeah I have curfew, the perks of
being a teenager to a single mom”
“What’s your name?”
“Start with an A”
“Ends with…?”
“That’s a secret, I’ll tell you a letter a
day” Aku cuba bermain kata. Aku sememangnya dasar anak kecil hingusan yang langsung tidak mengerti
apa itu cinta. Namun memori tentang Jacob masih jelas terbayang di hadapan
mata.
Mujur saja Mama punya urusan kerja
yang lama di Venice, hal ini membolehkan aku bertemu Jacob secara sembunyi
sembunyi. Hari-hari seterusnya bagaikan drama sinetron dalam hidupku. Kami
pergi berkelah, melawat tempat-tempat bersejarah, menikmati hidangan itali
bersama-sama. Aku semakin menyangkakan bahawa aku mengenali Jacob. Kata Jacob
ayahnya seorang jurugambar bebas dan dia mengikuti bapanya ke Itali. Jacob berasal dari New Seattle ,
America.
Oh.. waktu itu aku tidak mahu
meninggalkan Venice. Mama perasaan dengan keanehan sikapku dan akhirnya aku
menceritakan tentang perihal Jacob.
“Lisa , he’s not the one for you and
he’s dangerous he could have hurt you and you’re too young for anything like
this”
“Mama, Jacob is a friend, he won’t
hurt me”
“How sure are you, huh? How sure are
you he’s not dangerous? What if he has another intention? How can you be so
careless?!”
“Mama you’re being paranoid”
“I’m not being paranoid! I’m worried
about you!”
“Mama, why can’t you trust anyone?
What are actually we’re hiding from? I need a friend Mama, not the kind of
friend I have to lie about my name, my age,about who you are. I need someone to
know the real me!”
‘Are you insane Lisa?! You tell him
about us?!”
“No! the only thing I told him is
about my real name and that’s it!”
Mama meluru ke arah ku dengan mata
yang menjengil, aku seakan kecut perut melihat riak muka Mama.
“What are you doing Lisa?! Tell me
what’re you doing?!”
“A friend Mama, I want a friend!” Bentakku
sekuat hati. Pranggg sebiji mug minuman berderai ke lantai. Retak seribu
serpihanya. Aku bergegas berlari keluar dari bilik motel itu meninggalkan Mama
yang menjerit-jerit memanggilku.
No comments:
Post a Comment